"Innal
abraara yasyrabuuna min ka’sin kaana mizaajuhaa kaafuura”
Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (Hamka), membacakan surat Ad-Dahr (Al-Insan) ayat 5 ini di depan
Mohammad Said (wartawan senior harian Waspada) dan Amrullah O.
Lubis, juga seorang wartawan kawakan asal Medan, setelah keduanya selesai
shalat Maghrib di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, pada suatu hari di bulan
Agustus 1969. Kepada keduanya, Hamka mengatakan, “Saya telah bertemu di dalam
Al-Qur’an suatu dalil bahwa di zaman Nabi kita (Muhammad saw—red), negeri kita
ini (Nusantara— red) sudah diketahui oleh orang dan telah meresap ke dalam
lidah Arab sendiri, bahkan lidah Quraisy, bahasa Al-Qur’an.”
Said pun langsung
terusik oleh pernyataan Hamka, “Apa yang tersembunyi di situ?”
Kepada kedua wartawan
senior tersebut, Hamka menjelaskan terjemahan disertai tafsirannya. “Sesungguhnya
orang baik-baik akan minum dari piala yang campurannya ialah kapur,” demikian
Hamka menerjemahkan secara bebas surat Ad-Dahr ayat 5 sebagaimana dikutip dalam
buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (2008: 195). Adapun
kutipan terjemahan Al-Qur’an versi Kementerian Agama (Kemenag) sebagai
berikut: “Sungguh, orang-orang yang berbuat kebaikan akan minum dari
gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kapur.” Adapun yang
dimaksud ‘air kapur’ sebagaimana keterangan dalam terjemahan Al-Qur’an versi
Kemenag (lihat catatan kaki no. 883) adalah “nama suatu mata air di surga yang
airnya putih dan baunya sedap dan enak sekali rasanya.”
Tapi Hamka punya
perspektif tersendiri ketika memahami kata ‘kaafuur’ dalam surat ini. Dengan
kemampuan bahasa (linguistik), sejarah, dan budaya (sosiologi, antropologi), ia
berhasil menjelaskan kata ‘kaafuur’ sebagai representasi dari bahasa dan budaya
Nusantara yang masuk ke alam pikiran bangsa Arab dan telah diakomodasi ke dalam
bahasa mereka, bahkan lewat lisan Nabi Muhammad saw ketika menuturkan wahyu
surat Ad-Dahr ayat 5.
“Saudara telah
mengetahui dari sejarah bahwa sejak sebelum Nabi Muhammad saw, orang Arab dan
Phoenicie telah mencari kapur ke negeri kita, sebagai juga kemudiannya, orang
Barat mencari rempah,” jelas HAMKA kepada kedua wartawan senior itu. “Kapur di
zaman itu tidak ada tumbuh di bahagian dunia lain, kecuali di negeri kita di
Sumatra. Kapur itu ialah Kapur Barus,” jelasnya.
Sangat menarik
analisis Hamka terhadap kata ‘kaafuur’ dengan huruf kaf dibaca
panjang (madd) dan huruf fa juga dibaca panjang (madd)
yang hanya sekali saja disebutkan dalam Al-Qur’an. Yaitu, di ayat 5 surat
AdDahr—Al-Insan. Karena begitu populernya komoditas Kapur Barus yang hanya
diproduksi di kawasan Barus (Sumatra) sampai ke telinga bangsa Arab dan bahkan
telah dikenal dengan baik oleh sang Nabi saw. Maka suatu kehormatan tersendiri,
bagi Hamka, ketika kata ‘kaafuur’ telah menjadi representasi atas eksistensi
bangsa Indonesia (Nusantara) ketika masuk ke dalam struktur bahasa Al-Qur’an.
Masih terkait kata
‘kaafuur’, komoditas yang hanya diproduksi di Barus, sebuah kawasan pesisir
yang berjarak 60 km dari Singkil (Aceh), Hamka menawarkan teori baru tentang
awal mula kedatangan agama Islam di Nusantara yang menurutnya telah hadir sejak
abad ke-7 M. Fakta historis dan etnografi Barus menjadi bukti bahwa kawasan ini
telah eksis ketika kenabian Muhammad saw lewat komoditi Kapur Barus yang telah
populer di negara-negara Arab. James R. Rush, dalam buku Adicerita
Hamka (2017: 143-144), mengutip teori Hamka, “Para penyebar Islam
mencapai Jawa lima puluh tiga tahun sesudah Islam ditegakkan Nabi Muhammad di
Arabia. Pada 675 M, duta-duta dari istana Khalifah Muawiyah di Damsyik
mendatangi penguasa Hindu Kalingga ketika dalam perjalanan ke Tiongkok. Sepuluh
tahun kemudian, para pedagang Arab mendirikan koloni di Sumatra Barat.”
Pada awal abad ke-20
M, para sejarawan Orientalis maupun intelektual pribumi memperdebatkan latar belakang
seorang ulama besar bernama Abdurrauf ibn Ali Al-Jawiy, Al-Fanshur, As-Sinkili.
Ia seorang ulama besar pada abad ke-17 M yang tidak hanya populer di Nusantara
tetapi juga sangat disegani di negara-negara Arab, termasuk dihormati rezim
Turki Usmani. Karya-karya Abdurrauf As-Sinkili sangat banyak menjadi bacaan
otoritatif bagi para ulama di dunia Islam. Salah satu karya monumentalnya
adalah Turjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir berbahasa
Arab-Melayu yang diterbitkan oleh penerbit Syekh Mustafa Al-Babiy Al-Halabiy di
Mesir.
R.A. Rinkes, dalam
bukunya, Abdurrauf van Singkel (1909: 37), memperdebatkan asal
usul tokoh ini apakah dari Singkil atau Fanshur. Sedangkan Mangaradja Onggang
Parlindungan, dalam bukunya, Tuanku Rao (1965), menyebut ada
dua tokoh berbeda yang memiliki nama yang sama.
Dengan penguasaan
sejarah, lingusitik, dan etnografi, Hamka membantah teori Rinkes dan
Parlindungan bahwa Abdurrauf Al-Fashuri As-Sinkili adalah sosok yang satu.
Walaupun telah jelas berasal dari Sumatra, tetapi dalam kitab Turjuman
al-Mustafid, namanya tetap dinisbatkan Al-Jawiy. Sebab, sebutan “Al-Jawiy”
dalam alam pikiran bangsa Arab untuk menyebut seluruh kawasan di Nusantara
(termasuk Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan lain-lain). Penisbatan Al-Fanshur
dalam alam pikiran Melayu untuk menyebut nama sebuah kampung (Aceh: gamphong)
bernama Pancur di Negeri Aceh Rayeu. Letak kawasan ini di antara Barus dan
Singkil. Menurut Hamka, “Islam di sana sudah tua, setua Islam di Aceh.”
Dalam Seminar
“Masuknya Islam ke Sumatra Utara” yang digelar bulan Maret 1963, Hamka berhasil
menyampaikan teori baru tentang masuknya Islam di Nusantara sejak abad ke-7 M.
Dengan mempertimbangkan fakta historis dan etnografi kawasan Barus, seorang
sejarawan lokal bernama Dada Meuraxa mengafirmasi teori Hamka ini. Teori Hamka
kembali dikemukakan dalam Seminar Islam di Minangkabau, 23-26 Juli 1969, bahwa
sejarah masuknya Islam di Nusantara sebenarnya setua umur ajaran agama Islam
itu sendiri, dibuktikan dengan fakta historis dan etnografis kawasan Barus
seperti yang telah termaktub dalam Al-Qur’an surat Ad-Dahr ayat 5.
Itulah sisi
rasionalitas Hamka yang mungkin belum banyak diketahui kalangan umat Islam saat
ini. Sosok Hamka ketika menafsirkan ayat dalam Al-Qur’an menggunakan instrumen
ilmu-ilmu social humanities di samping penguasaan terhadap ilmu-ilmu sains.
Tidak cukup hanya dengan satu disiplin ilmu ketika menjelaskan ayat Al-Qur’an.
Secara tidak langsung, sesungguhnya ia telah menggunakan pendekatan
integrasi-interkoneksi ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ilmu-ilmu social
humanities dan ilmuilmu sains yang dibangun di atas rasionalitas
menjadi instrumen untuk mengkaji dan mengungkap khazanah di balik ayat-ayat
Al-Qur’an.
Penghormatan Hamka
terhadap akal yang menopang pemahaman dan praktik keagamaannya yang
kosmopolitan sebagaimana kesaksiannya dalam buku, Falsafah Hidup (2017:
43). “Agama Islam amat menghormati akal. Karena tidak akan tercapai ilmu kalau
tidak ada akal. Sebab itu, Islam adalah agama ilmu dan akal,” tulisnya. (Abu
Rafif)
Copast all :
http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/02/17/sisi-rasionalitas-hamka-yang-belum-banyak-diketahui/